Fenomena Fitnah Harta
FENOMENA FITNAH HARTA
Oleh
Ustadz Abu Nida’ Chomsaha Shofwan
Harta merupakan salah satu fitnah dunia yang paling menonjol. Demi harta, seseorang rela berbuat apa saja asal bisa meraihnya. Tujuan hidupnya, seolah hanya untuk mencapai kesenangan duniawi belaka. Allah telah mensinyalir orang-orang yang seperti ini dalam surat Hud ayat 15-16 :
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَيُبْخَسُونَ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ النَّارَ وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan“.[Hud/11 : 15-16].
Dalam masalah ini, Syaikh Al Utsaimin telah membedakan antara riya’ dengan keinginan mendapat dunia. Riya’, ialah seseorang yang beribadah karena ingin dipuji agar dikatakan sebagai ‘abid (ahli ibadah), dan ia tidak menginginkan harta. Adapun keinginan terhadap dunia yang dimaksudkan dalam ayat ini, seseorang beribadah bukan karena ingin dipuji atau dilihat, bahkan sebenarnya ia ikhlas dalam beribadah kepada Allah. Akan tetapi ia ingin mendapatkan sesuatu dari dunia, seperti harta, pangkat, kesehatan; baik pribadi, keluarga maupun anak, dan lain-lain. Jadi dengan amal ibadahnya ia inginkan manfaat dunia dan tidak menginginkan pahala akhirat.
Beliau memberikan contoh-contoh bagaimana seseorang menginginkan dunia dengan amal ibadahnya. Misalnya ; menjadi muadzin dengan niat mencari uang. Berangkat haji dengan tujuan mencari harta. Belajar agama di perguruan tinggi dengan niat mencari ijasah agar martabatnya naik. Melakukan beberapa jenis peribadatan dengan maksud menyembuhkan penyakit, atau supaya disenangi orang lain atau supaya tidakmendapat gangguan, atau maksud-maksud lain.[1]
Karena itu, kita harus berhati-hati, jangan sampai terjatuh ke dalam syirik niat sebagaimana yang disebutkan dalam surat Hud/11 ayat 15-16 di atas.
Sebuah ironi, bila seorang da’i, ketika berbicara tentang hikmah dan faidah ibadah, justeru menitikberatkan pada faidah-faidah duniawi. Misalnya, shalat adalah olah raga yang berfaidah menguatkan otot-otot, puasa berfaidah menghilangkan (mengurangi) lemak dan mengatur makan. Seharusnya kita tidak menjadikan faidah-faidah duniawi sebagai masalah pokok dalam beribadah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah menyebutkan yang demikian itu di dalam Al Qur’an. Akan tetapi Allah menyebutkan bahwa shalat akan mencegah perbuatan keji dan mungkar. Begitu pula menyebutkan puasa sebagai penyebab orang bertaqwa. Faidah diniyah dalam ibadah inilah yang menjadi masalah pokok, adapun faidah duniawi merupakan masalah kedua. Sehingga apabila seorang da’i berbicara di depan khalayak umum, maka yang lebih penting ialah menyampaikan atau menyebutkan faidah-faidah diniyahnya saja. Apabila memang diperlukan, barulah disampaikan faidah diniyah dan duniawi. Setiap pembicaraan ada tempatnya[2].
Dalam Fathul Majid, disebutkan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah ditanya tentang ayat 15 dan 16 surat Hud di atas, lalu beliau menjawab, yang intinya, telah disebutkan oleh para ulama salaf, bahwa di dalam ayat tersebut mengandung penjelesan beragamnya perilaku amal manusia pada zaman ini dan mereka tidak mengerti maksudnya.
- Amal shalih yang dilakukan oleh banyak orang untuk mencari ridha Allah, seperti shadaqah, shalat, menyambung tali persaudaraan, berbuat baik kepada manusia, meninggalkan kezhaliman, dan amal-amal lain yang dilakukan atau ditinggalkan manusia karena ikhlas kepada Allah. Akan tetapi, orang yang melakukannya tersebut tidak menginginkan pahalanya di akhirat. Dia hanya ingin agar Allah menjaga hartanya dan mengembangkannya, menjaga istri dan anak-anaknya, atau supaya Allah melanggengkan nikmat yang diberikan kepadanya. Tidak terpikir olehnya untuk mencari surga dan lari dari neraka. Orang semacam ini diberi ganjaran amalnya di dunia, sedangkan di akhirat tidak ada bagian untuknya. Jenis perbuatan yang pertama ini disebutkan oleh Ibnu Abbas.
- Ini lebih besar dan lebih dikhawatirkan dari yang pertama. Inilah ayat yang disebutkan Mujahid bahwasanya turun berkaitan dengan permasalahan kedua ini. Yaitu seseorang beramal shalih namun niatnya untuk riya’ kepada manusia, tidak untuk mencari pahala akhirat.
- Seseorang beramal shalih dengan tujuan harta, seperti berhaji karena ada harta yang akan diambilnya bukan karena Allah, berhijrah karena dunia yang akan diperolehnya, atau perempuan yang akan dinikahinya, atau berjihad untuk mendapatkan ghanimah. Begitu juga, seseorang yang belajar karena untuk kepentingan sekolah keluarganya, untuk pekerjaan mereka atau kepemimpinan mereka, atau belajar Al Qur’an dan rajin melakukan shalat karena untuk mencari pekerjaan di masjid seperti yang banyak terjadi sekarang.
- Seseorang mengerjakan ketaatan kepada Allah murni hanya untuk Allah saja, akan tetapi dia melakukan perbuatan kufur yang membuatnya keluar dari agama Islam. Misalnya, orang Yahudi dan Nasrani yang menyembah Allah, bersedekah dan berpuasa untuk mencari ridha Allah dan akhirat. Dan seperti banyak orang dari umat ini, yang di antara mereka ada yang berbuat kufur dan syirik besar, sehingga mengeluarkan mereka dari agama Islam secara keseluruhan. Bila mereka taat kepada Allah dengan murni untuk mengharapkan pahala Allah di akhirat, akan tetapi mereka melakukan perbuatan yang mengeluarkan mereka dari Islam dan menyebabkan tidak diterimanya amal. Macam ini juga telah disebutkan dalam penafsiran ayat ini, dari Anas bin Malik dan lainnya.
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Dia menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamisah, dan celakalah hamba khamilah. Jika diberi, dia senang, tetapi jika tidak diberi, dia marah. Celakalah dia dan tersungkurlah. Apabila terkena duri, semoga tidak dapat mencabutnya. Berbahagialah seorang hamba yang memacu kudanya (berjihad di jalan Allah) dengan kusut rambutnya dan berlumur debu kedua kakinya. Bila dia berada di pos penjagaan, dia akan tetap setia berada di pos penjagaan itu. Bila ditugaskan di garis belakang, dia akan tetap setia berada di garis belakang itu. Jika dia meminta ijin (untuk menemui raja atau penguasa), tidak diperkenankan. Jika bertindak sebagai perantara, tidak diterima perantaraannya“[3].
Syaikhul Islam rahimahullah berkata,”Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya hamba dinar, hamba dirham, hamba qathifah dan hamba khamishah.” Dia menyebutkan kalimat yang ada di dalam hadits (do’a dengan lafazh khabar), yaitu sabdanya “Celakalah dia dan tersungkurlah. Apabila terkena duri, semoga tidak dapat mencabutnya”[4]
Demikian keadaan seseorang yang bila tertimpa keburukan, ia tidak dapat lolos darinya dan tidak beruntung. Dia telah celaka dan tersungkur, tidak dapat meraih yang diharapkannya dan tidak dapat meloloskan diri dari sesuatu yang dibenci. Begitulah keadaan seseorang yang menjadi hamba harta.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberinya sifat “Jika diberi, dia senang, jika tidak diberi, dia marah”. Sebagaimana firman Allah Ta’ala.
وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّلْمِزُكَ فِى الصَّدَقٰتِۚ فَاِنْ اُعْطُوْا مِنْهَا رَضُوْا وَاِنْ لَّمْ يُعْطَوْا مِنْهَآ اِذَا هُمْ يَسْخَطُوْنَ
“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat, jika mereka diberi sebagian darinya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian darinya, dengan serta merta mereka menjadi marah“. [At-Taubah/9 :58].
Ridha mereka ditujukan untuk selain Allah, dan kemarahan mereka untuk selain Allah pula. Beginilah keadaan orang yang menggantungkan dirinya kepada hawa nafsunya. Jika memperolehnya, dia senang. Dan jika tidak memperolehnya, dia marah. Dia memperturutkan hawa nafsu dan menjadi budaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanya sebagai fitnah (cobaan) dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar“. [Al-Anfal/8 : 28].
Fitnah harta, telah menjerumuskan manusia pada perilaku menyimpang, bahkan sampai pada bentuk syirik. Diantaranya :
- Demi harta, ada di antara manusia yang berpuasa siang malam, bahkan puasa pati geni, melakukan ritual dikubur hidup-hidup.
- Seseorang yang ingin kaya, ada yang dengan cara mendatangi suatu tertentu untuk melakukan ritual sesat, misalnya tukar pasangan suami atau istri.
- Bila ingin dagangannya laris, ada yang mempercayainya dengan cara mengambil kotoran binatang tertentu yang konon mendatangkan berkah.
- Acara-acara yang dikemas dengan jargon pelestarian budaya, dengan menampilkan berbagai jenis makanan. Kemudian makanan-makanan ini diperebutkan masyarakat yang hadir. Konon, makanan tersebut bisa mendatangkan berkah.
- Atau kalau ingin kaya, ada yang mendatangi suatu tempat tertentu agar mendapatkan sesuatu yang menjadi sarana menjadi kaya, misalnya mencari tuyul, yang diyakini bisa mendatangkan rezeki.
- Di antara pedagang kadang saling bersaing. Agar bisa bersaing dan dagangannya laris, kemudian mencari penglarisan melalui dukun-dukun, orang-orang “pintar”, ataupun paranormal. Dalam menjatuhkan saingannya, terkadang dengan mengirim gangguan berupa sihir, santet, dan sebagainya.
- Ingin mendapatkan harta dengan menggunakan ilmu gendam untuk menghipnotis seseorang. Dengan ditepuk punggungnya, seseorang yang menjadi korbannya tersebut akan menyerahkan hartanya tanpa sadar. Demikian ini adalah sihir.
- Atau di tengah masyarakat, muncul adanya berita dengan istilah “jadi-jadian”. Ada kijang jadi-jadian, babi jadi-jadian, dan lain-lain. Binatang “jadi-jadian” tersebut berkeliling desa, dan rumah yang dilewati menjadi sial, harta atau uangnya ada yang tercuri.
Fenomena-fenomena tersebut merupakan perbuatan syirik, karena mereka bersandar kepada selain Allah dalam mencari rezeki. Seperti, kepada dukun, benda-benda yang dianggap keramat, atau meminta bantuan jin, setan; padahal jin atau setan itu mau membantu dengan imbalan yang lebih banyak, yaitu supaya seseorang menyembah kepadanya. Menyembah yang juga berarti tunduk dan sujud kepada jin. Misalnya, mengikuti perintahnya ataupun menyiapkan sesajen, dan lain-lain. Semakin seseorang itu memiliki loyalitas yang kian bertambah kesyirikannya, maka akan semakin mujarab pertolongan yang diberikan jin kepada orang tesebut. Wa na‘udzu billahi min dzalik.
Allah telah memperingatkan di dalam Al Qur’an perihal perbuatan syirik yang berbahaya ini:
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar“. [An-Nisa’/4:48].
مَنْ عَقَدَ عُقْدَةً ثُمَّ نَفَثَ فِيهَا فَقَدْ سَحَرَ وَمَنْ سَحَرَ فَقَدْ أَشْرَكَ وَمَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ.
“Barangsiapa mengikat suatu ikatan lalu mengniupnya, maka dia telah melakukan sihir, dan barangsiapa melakukan sihir, maka dia telah berbuat syirik. Barangsiapa menggantung sesuatu (jimat), maka dia akan diserahkan kepada sesuatu itu“.[Sunan An-Nasa-i. 4079]
مَنْ أَتَى عَرَّافاً أَوْ كَاهِناً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ.
“Barangsiapa mendatangi dukun lalu membenarkan ucapannya, maka dia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad“. [Hadits shahih. Lihat: Shahîh al-Jâmi’ ash-Shaghîr, no. 5934]
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْأِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقاً
“Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan“. [Al-Jin/72 : 6].
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi“. [Az-Zumar/39 : 65].
Inilah di antara fitnah harta, yang bisa menjerumuskan manusia kepada kesesatan. Maka sudah seharusnya kita selalu mewaspadai dan menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar. Semoga kita diselamatkan dari fitnah ini. Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1] Al-Qaul al-Mufid ‘Ala Kitab at-Tauhid; Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Bab Min asy-Syirki IradatulInsan bi’amalihi ad-Dunya II/243 Daar Al-‘Ashimah cet. I – 1415 H. Dengan terjemah bebas dan agak diringkas
[2] Al Qaulul Mufid, II/245
[3] Lihat Fathul Majid Syarh Kitab At Tauhid, Bab Min Asy Syirki Iradatul Insan Bi ‘Amalihi Ad Dunya. Terjemah bebas dan ringkas
[4] Lihat Fathul Majid Syarh Kitab At Tauhid, Bab Min Asy Syirki Iradatul Insan Bi ‘Amalihi Ad Dunya, hlm. 442. Cet. X – 1424 H
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2774-fenomena-fitnah-harta.html